Jumat, 30 September 2011

proses pengambilan keputusan oleh konsumen


Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Konsumen

Apa yang mempengaruhi proses pembelian? Proses pengambilan keputusan pembelian terdiri dari lima tahap: pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, pengevaluasian alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku setelah pembelian. Jelas bahwa proses pembelian berlangsung jauh sebelum pembelian aktual dan berlanjut
jauh sesudahnya. Pasar perlu berfokus pada seluruh proses pengambilan keputusan pembelian bukan hanya pada proses pembeliannya saja.
Secara teori konsumen melalui seluruh lima tahap pada tiap pembelian. Tapi pada pembelian rutin, konsumen terkadang melewatkan atau membalik beberapa tahap itu. Seorang wanita yang kadang membeli pasta gigi merek yang biasa digunakannya akan mengenali kebutuhan tetapi dia akan bergerak langsung ke proses pembelian, dengan melewatkan pencarian informasi dan mengevaluasi alternatif. Pertimbangan yang muncul pada saat konsumen menghadapi situasi pembelian baru bisa bersifat kompleks.
Pengenalan Kebutuhan
Proses pembelian bermula dari pengenalan kebutuhan (need recognition)-pembelian mengenali permasalahan atau kebutuhan. Pembeli merasakan adanya perbedaan antara keadaan aktual dan sejumlah keadaan yang diinginkan. Kebutuhan itu dapat dipicu oleh stimulus internal ketika salah satu kebutuhan normal-lapar, haus, seks, naik ke tingkatan yang cukup tinggi sehingga menjadi pendorong.
Kebutuhan dapat dipicu oleh rangsangan eksternal. Seseorang mungkin merasa membutuhkan hobi baru ketika kesibukan pekerjaannya mulai menurun, dan dia mulai memikirkan kamera setelah berbincang-bincang dengan teman tentang fotografi atau setelah melihat iklan kamera. Pada tahap itu, pemasar harus meneliti konsumen untuk mengetahui kebutuhan macam apa yang menyebabkan kebutuhan itu muncul, dan bagaimana cara pemasar menuntun konsumen supaya membeli produk tersebut.
Setelah mengumpulkan informasi seperti itu, pemasar dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang paling sering memicu ketertarikan terhadap produk dan mengembangkan program pemasaran yang melibatkan faktor-faktor tersebut.
Pencarian Informasi
Konsumen yang tergerak mungkin mencari dan mungkin pula tidak mencari informasi tambahan. Jika dorongan konsumen kuat dan produk yang memenuhi kebutuhan berada dalam jangkauannya, ia cenderung akan membelinya. Jika tidak, konsumen akan menyimpan kebutuhan itu kedalam ingatan atau mengerjakan pencarian informasi yang berhubungan dengan kebutuhan itu.
Pada satu tahapan tertentu, konsumen mungkin sekedar meningkatkan perhatian. Pada tahapan itu, seseorang menjadi lebih menerima informasi mengenai kamera. Ia memperhatikan iklan kamera, kamera yang digunakan oleh temannya, dan percakapan tentang kamera. Atau ia mungkin mengerjakan pengumpulan informasi secara aktif, dimana ia mencari informasi tertulis, menelepon teman, dan mengumpulkan informasi dengan berbagai cara lain. Jumlah pencarian yang dikerjakan tergantung pada kekuatan dorongan pada dirinya, jumlah informasi awal yang ia miliki, kemudahan pencarian informasi tambahan, nilai yang ia berikan pada informasi tambahan,
dan kepuasan yang di dapat setelah pencarian.
Konsumen dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber. Sumber itu meliputi sumber pribadi (keluarga, teman, tetangga, rekan kerja), sumber komersial (iklan, penjual, pengecer, bungkus, situs Web, dan lain-lain), sumber publik (media massa, organisasi pemberi peringkat), dan sumber berdasarkan pengalaman (memegang,
meneliti, menggunakan produk). Pengaruh relatif di antara sumber informasi itu berbeda-beda di antara berbagai produk dan pembeli.
Konsumen biasanya menerima sebagian besar informasi dari sumber komersial.-yang dikendalikan oleh pemasar. Namun demikian, sumber yang paling efektif cenderung yang bersifat pribadi. Sumber komersial biasanya memberikan informasi kepada pembeli, sedangkan sumber pribadi memberikan legitimasi atau mengevaluasi produk bagi pembeli.
Seseorang terkadang meminta orang lain-teman, keluarga, rekan kerja dan para profesional-supaya merekomendasikan produk atau jasa. Oleh karena itu, perusahaan mempunyai ketertarikan yang kuat untuk membangun sumber pemasaran getok tular (word of mouth sources). Sumber-sumber itu mempunyai dua keuntungan utama.
Pertama, sumber itu meyakinkan. Pemasaran getok tular atau pemasaran dari mulut ke mulut adalah satu-satunya metode promosi dari konsumen, oleh konsumen, dan untuk konsumen. Mempunyai konsumen yang setia dan terpuaskan dan membangga-banggakan bisnis mereka dengan anda merupakan mimpi setiap pemilik bisnis. Tidak hanya konsumen yang puas mengulangi pembelian, tetapi mereka juga menjadi papan promosi berjalan bagi bisnis anda.
Kedua, biaya yang rendah. Menjaga hubungan dengan konsumen dan mengubahnya menjadi sumber promosi getok tular membutuhkan biaya yang relatif rendah. Semakin banyak informasi yang didapat, kesadaran dan
pengetahuan konsumen tentang adanya merek dan fitur akan meningkat. Dalam pencarian informasi, seseorang banyak mempelajari merek yang tersedia. Informasi itu juga membantunya meninggalkan pilihan merek tertentu. Perusahaan harus mendesain bauran pemasarannya agar calon konsumen sadar dan tahu akan
mereknya. Secara hati-hati perusahaan harus mengidentifikasi sumber informasi konsumen dan tingkat kepentingan tiap-tiap sumber itu.
Konsumen harus ditanyai bagaimana awalnya mereka mendengar merek itu, informasi apa yang didapat, dan bagaimana mereka mengurutkan tingkatan arti penting sumber informasi yang berbedabeda itu.
Pengevaluasian Alternatif
Kita telah mempejari cara konsumen menghasilkan informasi yang menghasilkan sekumpulan merek-merek yang akhirnya dipilih. Bagaimana cara konsumen memilih dari alternatif merek yang ada? Pemasar perlu memahami proses pengevaluasian alternatif-yakni, cara konsumen memproses informasi yang menghasilkan berbagai
pilihan merek. Sayangnya, konsumen tidak melakukan satu evaluasi secara tunggal dan sederhana, tetapi konsumen mungkin melakukan beberapa proses avaluasi.
Sikap konsumen terhadap sejumlah merek tertentu terbentuk melalui beberapa prosedur evaluasi. Cara konsumen memulai usaha mengevaluasi alternatif pembelian tergantung pada konsumen individual dan situasi pembelian tertentu. Dalam beberapa kasus, konsumen menggunakan kalkulasi yang cermat dan pikiran yang logis.
Dalam waktu yang lain, konsumen bersangkutan mengerjakan sedikit atau tidak mengerjakan evaluasi sama sekali; melainkan mereka membeli secara impulsif atau bergantung pada intuisi. Terkadang konsumen membuat keputusan sendirian, kadang tergantung pada teman, petunjuk konsumen, atau penjual untuk mendapatkan saran pembelian.
Jika ia tadi mempersempit pilihannya menjadi empat kamera.juga dapat dianggap ia hanya tertarik pada empat atribut kualitas gambar, kemudahan penggunaan, ukuran kamera dan harga. Ia telah membentuk keyakinan tentang berapa peringkat merek menurut masing-masing atribut. Jelas, jika terdapat satu kamera yang mendapat peringkat terbaik dalam semua atribut, dapat kita perkirakan, bahwa ia akan memilihnya. Namun, merek dapat berbeda-beda daya tariknya. Keputusan pembeliannya mungkin berdasarkan pada hanya
satu atribut, oleh karena itu pilihannya akan mudah ditebak. Jika ia menginginkan kualitas gambar merupakan atribut yang paling penting di atas yang lain, ia akan membeli kamera yang mempunyai gambar terbaik. Tetapi pembeli mempertimbangkan beberapa atribut yang masing-masing tingkat kepentingannya berbeda-beda. Jika kita mengetahui bobot kepentingan yang diberikannya tiap-tiap atribut dari keempat atribut tersebut, kita dapat memperkirakan pilihan merek kamera yang akan dibelinya sehingga lebih dapat diandalkan ketetapan
perkiraannya.
Pemasar harus mempelajari pembeli supaya dapat mengevaluasi alternatif merek secara aktual. Jika pemasar mengetahui proses evaluasi seperti apa yang terjadi, pemasar dapat mengambil langkah untuk mempengaruhi keputusan pembeli.
Keputusan Pembeli
Di tahap pengevaluasian, konsumen menyusun peringkat merek dan membentuk kecenderuangan (niat) pembelian. Secara umum, keputusan pembelian konsumen akan membeli merek yang paling disukai, tetapi ada dua faktor yang muncul diantara kecenderungan pembelian dan keputusan pembelian. Faktor pertama
adalah sikap orang lain. Jika suami Anna Flores sangat merasa Anna harus membeli kamera yang harganya paling murah, maka kesempatan Anna membeli kamera mahal akan berkurang.
Faktor kedua adalah faktor situasi tak terduga. Konsumen mungkin membentuk kecenderungan pembelian berdasar pada pendapatan yang diharapkan, harga, dan manfaat produk yang diharapkan. Namun, keadaan tak terduga dapat mengubah kecenderungan pembelian, Anna Flores mungkin kehilangan pekerjaannya atau pembelian lainnya lebih mendesak atau mungkin temannya mengatakan kecewa terhadap kamera pilihannya yang juga kamera kesukaan Anna. Atau, pesaing dekat menurunkan harga. Jadi, preferensi dan kecenderungan pembelian tidak selalu menghasilkan pilihan pembelian aktual.
Perilaku Setelah Pembelian
Pekerjaan pemasar tidak hanya berhenti pada saat produk dibeli. Setelah membeli produk, konsumen akan merasa puas atau tidak puas dan akan masuk ke perilaku setelah pembelian yang penting diperhatikan oleh pemasar. Apa yang menentukan pembeli puas atau tidak puas terhadap pembeliannya? Jawabnya terletak pada hubungan antara harapan konsumen dan kinerja produk uang dirasakan. Jika produk jauh di bawah harapan konsumen, maka konsumen kecewa; jika produk memenuhi harapannya, konsumen terpuaskan, jika
melebihi harapannya, maka konsumen akan merasa sangat senang.
Semakin besar beda antara harapan dan kinerja, semakin besar pula ketidakpuasan konsumen. Oleh sebab itu, penjual harus janji yang benar-benar sesuai dengan kinerja produk agar pembeli merasa puas. Beberapa penjual bahkan menyatakan janji tingkatan kinerja yang lebih rendah dibandingkan kinerja sebenarnya agar
kepuasan konsumen menjadi sangat tinggi. Misalnya, wiraniaga Beoing cenderung konservatif pada saat memperkirakan potensi manfaat pesawatnya. Mereka hampir tiap kali menyatakan efesiensi bahan bakar lebih rendah dari pada sebenarnya-mereka menjanjikan penghematan bahan bakar sebesar 5 persen yang ternyata 8 persen. Konsumen akan merasa senang terhadap kinerja yang lebih baik daripada yang diharapkan. Mereka akan membeli lagi dan berkata kepada calon pelanggan lain bahwa Boing memenuhi janjinya.
Hampir seluruh pembelian penting menghasilkan disonansi kognitif, atau ketidaknyamanan pembeli karena konflik setelah pembelian. Setelah pembelian, konsumen akan merasa puas dengan manfaat merek yang telah dipilih dan senang untuk menghindari kekurangan dari merek yang tidak dibeli. Namun, setiap pembelian melibatkan kompromi. Konsumen mendapatkan ketidak-nyamanan akibat mendapatkan kekurangan produk yang dibeli dan kehilangan sejumlah manfaat produk yang tidak dibeli. Oleh karena itu, konsumen merasakan setidak-tidaknya ada disonansi setelah pembelian pada setiap pembeliannya.
Mengapa memuaskan konsumen itu sangat penting? Kepuasan itu penting karena penjualan perusahaan berasal dari dua kelompok dasar-pelanggan baru dan pelanggan lama. Biasanya biaya akan lebih besar untuk menarik pelanggan baru daripada mampertahankan pelanggan lama dan jalan terbaik untuk mempertahankan pelanggan adalah dengan memuaskan mereka.
Kepuasan pelanggan merupakan kunci untuk membuat hubungan jangka panjang dengan pelanggan-yakni untuk mempertahankan dan menumbuhkan konsumen serta untuk memetik hasil yang berupa nilai seumur hidup pelanggan. Pelanggan yang puas akan kembali membeli produk, berbicara yang menyenangkan tentang produk itu, lebih sedikit memperhatikan merek dan iklan pesaing, serta membeli produk yang lain dari perusahaan yang sama. Banyak pemasar bertindak lebih dari sekedar memuaskan harapan konsumen-mereka berupaya
menyenangkan hati konsumen. Konsumen yang hatinya merasa senang akan membeli lagi produk tersebut serta berbicara yang menyenangkan tentang produk dan perusahaan itu.
Konsumen yang tidak puas memberikan tanggapan secara berbeda. Konsumen yang puas, secara rata-rata, akan berbicara kepada tiga orang mengenai baiknya pengalaman mereka mengenai produk, sedangkan konsumen yang tidak puas akan mengeluh ke 11 orang. Bahkan, suatu studi menunjukkan bahwa 13 persen orang yang mempunyai masalah dengan organisasi tertentu mengeluh tentang organisasi tersebut ke lebih dari 20 orang. Jadi, berita buruk dari mulut ke mulut berjalan lebih cepat daripada berita baik dari mulut ke mulut dan dapat dengan cepat merusak sikap konsumen terhadap perusahaan dan produknya.
Oleh karena itu, perusahaan yang bijaksana perlu mengukur kepuasan konsumen secara teratur. Perusahan tersebut tidak dapat semata-mata mengandalkan konsumen yang tidak puas yang secara sukarela menyampaikan keluhannya kepada perusahaan. Sebesar 96 persen konsumen yang tidak senang tidak pernah menyampaikan keluhannya. Perusahaan harus membangun sistem yang mendorong konsumen menyampaikan keluhannya.
Dengan cara itu, perusahaan dapat mempelajari secara baik kerja perusahaan tersebut dan bagaimana meningkatkannya. Perusahaan 3M mengaku lebih dari dua per tiga produk barunya datang dari mendengarkan keluhan konsumen. Tetapi mendengar saja tidak cukup-perusahaan harus menanggapi dengan baik setiap keluhan yang diterima.
http://www.smakristencilacap.com/arti-pemasaran-dan-manajemen-pemasaran/proses-pengambilan-keputusan-pembelian-konsumen/

jurnal ekonomi


Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 86 


 PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
SEBAGAI SALAH SATU PILAR SISTEM KEUANGAN NASIONAL:
UPAYA KONKRIT MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN1
Oleh:
Wiloejo Wirjo Wijono2
Abstraksi 

Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Meskipun kontribusi UKM dalam PDB semakin besar, namun hambatan yang dihadapinya besar pula, diantaranya kesulitan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Tulisan ini mencoba untuk menguraikan peranan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam menunjang kegiatan UKM, walaupun porsinya sebagai alternatif pembiayaan masih lebih kecil dibandingkan lembaga-lembaga keuangan formal. Namun, hal ini menarik untuk dikaji sebab perkembangan LKM ternyata searah dengan perkembangan UKM sehingga dapat dinyatakan bahwa LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.
Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat dua hal yang layak direkomendasikan: pertama, memperkuat aspek kelembagaan LKM sebagaimana yang selama ini telah berjalan pada lembaga-lembaga keuangan formal yaitu mempercepat pengesahan RUU tentang LKM, dan kedua, komitmen yang kuat pada pengembangan UKM yang sinergi dengan LKM. Dan pada akhirnya upaya untuk memutus rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan cara yang produktif.

I. Pendahuluan 

1.1 Latar Belakang
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak terlepas dari perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan UMKM terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.
Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan besaran Produk Domestik Bruto yang diciptakan UMKM dalam tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7 persen dari PDB). Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2003 mencapai 42,4 juta, sedangkan

1 Tulisan ini merupakan apresiasi terhadap Tahun Keuangan Mikro 2005 dan Millenium Development Goals (MDGs) yang digagas oleh PBB, seluruh isi tulisan mencerminkan pendapat pribadi dan tidak terkait dengan kebijakan instansi penulis.
2 Penulis adalah calon fungsional peneliti di Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Departemen  Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 87


jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini tercatat 79,0 juta pekerja. Pertumbuhan PDB UMKM periode 2000 – 2003 ternyata lebih tinggi daripada total PDB, yang sumbangan pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan Usaha Besar.
Perkembangan sektor UMKM yang demikian menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha menengah yang tangguh, seperti yang terjadi saat perkembangan usaha-usaha menengah di Korea Selatan dan Taiwan. Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan.
Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh UMKM khususnya pelaku Usaha Kecil dan Mikro (UKM)3 terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan, menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir) hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan bentuk-bentuk yang lain.
Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga keuangan informal ini lebih mengena di kalangan pelaku UKM karena sifatnya yang lebih fleksibel, misalnya dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM, yang umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai skala dan sifat usaha kecil. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal ini kemudian disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Namun sangat disayangkan, bahwa keberadaan LKM belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian nasional sebagaimana lembaga keuangan lainnya seperti perbankan (termasuk didalamnya BRI unit dan BPR), asuransi, perusahaan pembiayaan. Keberadaan perbankan telah diatur secara jelas dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dengan Bank Indonesia sebagai motor penggeraknya, bahkan terdapat penjaminan oleh pemerintah berupa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang semakin mengukuhkan keberadaan perbankan. Kondisi ini akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan keberadaan LKM yang telah jelas mempunyai kontribusi pada pelaku UKM yang peranannya dalam PDB sangat besar.

3 LKM dalam tulisan ini lebih dikaitkan dengan eksistensi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) mengingat skala usaha ini mempunyai jumlah terbesar dalam perekonomian Indonesia dan menghadapi hambatan lebih banyak dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan dibandingkan dengan pelaku Usaha Menengah dan Besar.  Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 88


Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk transfer atau subsidi, padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus diatasi dengan cara tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata rantai kemiskinan yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, yang dalam pepatah disebut “jangan berikan umpannya tapi berikanlah kailnya”, sehingga sangat relevan jika mengupayakan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.

1.2 Perumusan Masalah
Kondisi tersebut di atas jika berjalan terus, maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Karena pelaku UKM pada dasarnya adalah lapisan masyarakat yang ditinjau dari besaran pendapatan lebih berpotensi mendekati masyarakat miskin, namun mereka masih mempunyai kemauan untuk melakukan usaha produktif. Jika UKM terus mendapat hambatan dalam berusaha - termasuk kesulitan mengaskes sumber-sumber pembiayaan – maka potensi menjadi masyarakat miskin akan menjadi kenyataan.
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat penting upaya untuk menjawab bagaimana memperluas akses-akses pembiayaan bagi para pelaku UKM dan pada saat yang bersamaan peranan LKM terus berkembang sekaligus mampu menjawab kebutuhan UKM walaupun porsinya masih terbatas. Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tulisan ini adalah:
(1) Bagaimana menjadikan LKM semakin berkembang bahkan menjadi salah satu pilar dari sistem keuangan nasional?
(2) Bagaimana meningkatkan peran LKM dalam mendukung pemberdayaan UKM?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan yang diinginkan dalam tulisan ini meliputi:
1. Menganalisis peranan LKM sebagai sumber pembiayaan UKM,
2. Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan di masa depan, yang memungkinkan menjadi salah satu pilar sistem keuangan nasional.

1.4 Sumber Data dan Metodologi
Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, Pegadaian, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) serta sumber lainnya yang terkait. Sementara alat analisis yang dipakai adalah bersifat deskriptif. Studi kepustakaan, baik yang berasal dari buku teks maupun jurnal/majalah merupakan sumber yang sangat penting, begitu pula diskusi dengan teman seprofesi guna mempertajam analisisnya.
Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 89

II. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis

2.1 Kaitan Lembaga Keuangan Mikro dengan Kemiskinan
Lembaga keuangan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Aktifitas ekonomi disini tidak membedakan antara usaha yang dilaksanakan tersebut besar atau kecil, karena yang membedakan hanya besarnya nilai tambah berdasarkan skala usaha. Hal ini berarti bahwa usaha kecilpun jika memanfaatkan lembaga keuangan juga akan memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya meningkatkan pendapatan masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara yang produktif dengan memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk usaha produktif yang dilakukan oleh masyarakat miskin.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari pemerintah misalnya, program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana, maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Secara hipotesis, kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro (Krisna Wijaya: 2005).
Menurut Marguiret Robinson (2000), pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu upaya yang ampuh dalam menangani kemiskinan. Hal tersebut didasarkan bahwa pada masyarakat miskin sebenarnya terdapat perbedaan klasifikasi diantara mereka, yang mencakup: pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extreme poor) yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif, kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor), dan ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak. Kategori ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Pendekatan yang dipakai dalam rangka pengentasan kemiskinan tentu berbeda-beda untuk ketiga kelompok masyarakat tersebut agar sasaran pengentasan kemiskinan tercapai. Bagi kelompok pertama akan lebih tepat jika digunakan pendekatan langsung berupa program pangan, subsidi atau penciptaan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi kelompok kedua dan ketiga, lebih efektif jika digunakan pendekatan tidak langsung misalnya penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan UKM, pengembangan berbagai jenis pinjaman mikro atau mensinergikan UKM dengan para pelaku Usaha Menengah maupun Besar.
Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 90


Gambar 1
Financial Services in the Poverty Alleviation Toolbox
Sumber: Rudjito, Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkkan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan: Studi Kasus Bank Rakyat Indonesia, Jurnal Keuangan Rakyat Tahun II, Nomor 1, Maret 2003

2.2 Lembaga Keuangan Mikro
Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families” (Kompas, 15 Maret 2005). Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and low-income households and their microenterprises). Sedangkan bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal misalnya pelepas uang.4

4 www. ADB.co.id.  Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 91


LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank. LKM yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non bank adalah koperasi simpan pinjam (KSP), unit simpan pinjam (USP), lembaga dana kredit pedesaan (LDKP), baitul mal wattanwil (BMT), lembaga swadaya masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA, kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan peminjaman menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya.

III. Analisis Perkembangan LKM dan UKM dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Menganalisis keberadaan LKM tidak terlepas perkembangan UKM dan perkembangan LKM itu sendiri di Indonesia. Keberadaan LKM muncul seiiring dengan pesatnya aktifitas UKM namun di sisi lain dihadapkan pada kendala keterbatasan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Pembahasan disini akan diawali dengan perkembangan UKM, kemudian dilanjutkan dengan darimana UKM memperoleh sumber-sumber permodalan, perkembangan LKM dan diakhiri dengan uraian potensi dan permasalahan LKM di masa mendatang.

3.1 Perkembangan UKM
Berdasarkan Data BPS tahun 2005, kondisi UKM periode 2001 sampai 2004 menunjukkan perkembangan positif. Selama periode ini, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto rata-rata mencapai 56,04 persen. Secara sektoral aktivitas UKM ini mendominasi sektor pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran (Tabel 1). Sektor-sektor ini merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.



Tabel 1
Kontribusi Usaha Kecil, Menengah dan Besar Terhadap PDB
Tahun 2001 s.d. 2004 (dalam persentase)
No
Lapangan Usaha
Rata-Rata 2001 – 2004
Kecil
Menengah
Besar
Jumlah
1
Pertanian
85.89
9.05
5.06
100
2
Pertambangan & Penggalian
7.42
3.09
89.49
100
3
Industri Pengolahan
14.95
12.8
72.25
100
4
Listrik, Gas & Air
0.54
7.34
92.12
100
5
Bangunan
43.57
22.61
33.82
100
6
Perdagangan, Hotel & Restoran
75.19
21.06
3.75
100
7
Pengangkutan & Komunikasi
35.35
26.4
38.25
100
http://makalahjurnalskripsi.com/wp-content/uploads/2009/12/contoh-jurnal-ekonomi-perbankan-dan-ekonomi-mikro.pdf