Kamis, 27 Oktober 2011

PIKIRAN ANAK AUTISME

autismeAutisme adalah gangguan yang dialami sekitar sepuluh di antara sepuluh ribu anak. Sebagian besar anak-anak dengan autisme mengalami kesulitan-kesulitan lain; beberapa di antaranya terbelakang sama sekali. Namun, sebagian anak dengan autisme memiliki kecerdasan normal. Dan ada sesuatu berkaitan dengan cara mereka memahami orang lain yang membuat mereka sangat berbeda dari kita. Tanyakanlah kepada seorang anak cerdas usia 12 tahun yang autis apakah artinya “bangga” dan apakah ia pernah bangga. Ada kebisuan yang panjang. Akhirnya, dengan kening berkerut, ia berkomat-kamit pada dirinya sendiri, “Aku tahu itu.” Kemudian, dengan ragu-ragu ia berkata, “Bangga itu seperti ketika seseorang mencetak gol dalam pertandingan sepak bola? Seperti itukah bangga?” la memperoleh jawaban yang benar, tetapi ia agaknya melakukan hal itu dengan cara yang amat berbeda dibandingkan dengan kebanyakan anak usia 12 tahun, yang segera tanpa sadar mengajukan contoh-contoh yang mengungkapkan keangkuhan. Temple Grandin, seorang perempuan autis yang juga guru besar yang sukses dan masyhur dalam bidang peternakan, berkata bahwa dia merasa seperti seorang antropolog di Mars. Pengetahuannya mengenai orang lain didapatnya secara susah-payah dan menyakitkan dari pengamatan yang cermat terhadap keteraturan perilaku mereka. Sebagian besar dari kita terlahir dengan kemampuan menghubungkan pikiran kita dengan pikiran orang lain. Orang-orang autis tampaknya harus memecahkan persoalan Pikiran Orang Lain dari awal.

Kehidupan orang-orang autis membuat kita menyadari betapa pentingnya bisa memahami pikiran-pikiran orang lain. Sejak lahir, kebanyakan anak lebih menyukai orang daripada benda-benda. Anak-anak autis sering kali terlihat memiliki preferensi yang sebaliknya. Mereka terserap sepenuhnya oleh pola-pola balok, atau bahkan jadwal-jadwal kereta, seraya menghindari orang lain. Dari satu sisi, hal ini masuk akal. Bayangkanlah, betapa menakutkan dan mengganggunya dunia ini seandainya Anda benar-benar melihat orang lain sebagai gumpalan kulit yang acing dan bergerak secara acak, dengan cara yang tak terprediksikan, dibandingkan melihat mereka sebagai orang dengan pikiran-pikiran.

Perbedaan-perbedaan ini juga tecermin secara sistematik dalam cara anak-anak autis berperilaku dalam banyak eksperimen yang baru saja kami uraikan. Karena kebanyakan orang autis adalah juga orang yang terlambat secara mental, teknik dasar kajian-kajian ini ialah dengan membandingkan anak-anak autis dengan anakanak pada usia mental yang sama, tetapi berkembang secara normal maupun dengan anak-anak yang mengalami keterlambatan mental karena alasan lain, misalnya, anak-anak penderita sindrom Down. Anak-anak autis menemui kesukaran dalam menirukan ekspresi wajah. Mereka juga sukar menunjuk sesuatu ataupun mengikuti petunjuk orang lain. Mereka juga tidak memahami keyakinan yang keliru, seperti asumsi yang tidak tepat mengenai kotak permen yang menyesatkan. Mereka baru menyadarinya lama setelah anak-anak yang berkembang normal memahaminya, ataupun anak-anak dengan sindrom Down sekalipun. Sama sekali tidak ada pengungkapan pemahaman akan pikiran.
Anak-anak autis tidak terlihat mempunyai prasangka fundamental bahwa mereka menyerupai orang lain dan orang lain menyerupai mereka. Prinsip pertama yang tak dapat disangkal ini, aksioma dalam psikologi sehari-hari kami ini, secara paradoksal merupakan bagian dari hal yang memungkinkan kebanyakan anakanak untuk terus menemukan seluruh perbedaan di antara diri mereka dan orang lain.
Ketika autisme pertama kali dibahas, yaitu pada masa psikoanalitis pada 1950-an, sebagian psikiater menyimpulkan bahwa gangguan itu disebabkan oleh “ibu-ibu kulkas”, ibu-ibu yang dingin dan tidak responsif terhadap anak-anak mereka. Ibu-ibu yang meraih gelar kesarjanaan tergolong paling berpeluang menyebabkan anak-anak mereka autis. Tidak terbayang bagaimana perasaan ibu-ibu yang telah berurusan dengan tragedi semacam ini ketika diberi tahu bahwa ini bukan hanya takdir mereka, melainkan kesalahan mereka. (Dari perspektif kami yang lebih jernih saat ini, sebagai psikolog kognitif feminis di pergantian milenium, mengkritik sikap kaum Freudian terhadap kaum perempuan pada 1950-an ini terlihat tidak ada gunanya. Meskipun demikian, pandangan jahat itu masih cukup berbahaya, sehingga tampaknya cukup layak bagi kami untuk sedikit menyinggungnya). Kini, teramat jelas bahwa autisme tidak berkaitan dengan bagaimana orangtua memperlakukan bayi mereka. Autisme bermula sangat dini, terdapat komponen genetis yang kuat, dan dalam beberapa kasus ini mungkin juga disebabkan oleh kerusakan pada otak sebelum kelahiran. Kamu bahkan memiliki beberapa dugaan mengenai bagian mana otak yang terlibat. Dalam hal ini, pihak yang tak berperasaan adalah Alam.
Referensi Buku
Keajaiban Otak Anak – Buta Pikiran


http://jurnalkedokteranindonesia.wordpress.com/2010/08/14/pikiran-anak-autisme/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar