Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar
Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo
Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 86
PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
SEBAGAI SALAH SATU PILAR
SISTEM KEUANGAN NASIONAL:
UPAYA KONKRIT MEMUTUS MATA
RANTAI KEMISKINAN1
Oleh:
Wiloejo Wirjo Wijono2
Abstraksi
Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara
lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah
dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha
Kecil dan Mikro (UKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat
miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Meskipun kontribusi UKM
dalam PDB semakin besar, namun hambatan yang dihadapinya besar pula,
diantaranya kesulitan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga
keuangan formal.
Tulisan ini mencoba untuk menguraikan peranan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam menunjang kegiatan UKM, walaupun porsinya
sebagai alternatif pembiayaan masih lebih kecil dibandingkan lembaga-lembaga
keuangan formal. Namun, hal ini menarik untuk dikaji sebab perkembangan LKM
ternyata searah dengan perkembangan UKM sehingga dapat dinyatakan bahwa LKM
sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.
Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat dua hal
yang layak direkomendasikan: pertama, memperkuat aspek kelembagaan LKM
sebagaimana yang selama ini telah berjalan pada lembaga-lembaga keuangan formal
yaitu mempercepat pengesahan RUU tentang LKM, dan kedua, komitmen yang
kuat pada pengembangan UKM yang sinergi dengan LKM. Dan pada akhirnya upaya
untuk memutus rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan cara yang produktif.
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Keberadaan Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) tidak terlepas dari perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM). Peranan UMKM terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang
sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam
mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.
Kinerja UMKM dalam beberapa
tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan besaran Produk Domestik Bruto yang diciptakan UMKM dalam tahun 2003
mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7 persen dari PDB). Jumlah unit usaha
UMKM pada tahun 2003 mencapai 42,4 juta, sedangkan
1 Tulisan ini merupakan apresiasi terhadap Tahun
Keuangan Mikro 2005 dan Millenium Development Goals (MDGs) yang digagas
oleh PBB, seluruh isi tulisan mencerminkan pendapat pribadi dan tidak terkait
dengan kebijakan instansi penulis.
2 Penulis adalah calon fungsional peneliti di Pusat
Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan
Kerjasama Internasional, Departemen Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai
Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 87
jumlah tenaga kerja yang
bekerja di sektor ini tercatat 79,0 juta pekerja. Pertumbuhan PDB UMKM periode
2000 – 2003 ternyata lebih tinggi daripada total PDB, yang sumbangan
pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan Usaha Besar.
Perkembangan sektor UMKM yang
demikian menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik,
jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat
mewujudkan usaha menengah yang tangguh, seperti yang terjadi saat perkembangan
usaha-usaha menengah di Korea Selatan dan Taiwan. Namun, disisi yang lain UMKM
juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama,
masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua,
masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga,
keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga
keuangan formal khususnya dari perbankan.
Keterbatasan akses
sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh UMKM khususnya pelaku Usaha Kecil
dan Mikro (UKM)3 terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti
perbankan, menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk
dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir)
hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan
bentuk-bentuk yang lain.
Dalam perkembangannya,
lembaga-lembaga keuangan informal ini lebih mengena di kalangan pelaku UKM
karena sifatnya yang lebih fleksibel, misalnya dalam hal persyaratan dan jumlah
pinjaman yang tidak seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada
pencairan kredit. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan
lembaga-lembaga keuangan informal sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM, yang
umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai skala dan sifat usaha kecil. Keberadaan
lembaga-lembaga keuangan informal ini kemudian disebut sebagai Lembaga Keuangan
Mikro (LKM).
Namun sangat disayangkan,
bahwa keberadaan LKM belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian
nasional sebagaimana lembaga keuangan lainnya seperti perbankan (termasuk
didalamnya BRI unit dan BPR), asuransi, perusahaan pembiayaan. Keberadaan
perbankan telah diatur secara jelas dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
dengan Bank Indonesia sebagai motor penggeraknya, bahkan terdapat penjaminan
oleh pemerintah berupa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang semakin mengukuhkan
keberadaan perbankan. Kondisi ini akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan
keberadaan LKM yang telah jelas mempunyai kontribusi pada pelaku UKM yang
peranannya dalam PDB sangat besar.
3 LKM dalam tulisan ini lebih dikaitkan dengan
eksistensi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) mengingat skala usaha ini mempunyai
jumlah terbesar dalam perekonomian Indonesia dan menghadapi hambatan lebih
banyak dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan dibandingkan dengan pelaku
Usaha Menengah dan Besar. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai
Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 88
Upaya pengentasan kemiskinan
yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk
transfer atau subsidi, padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus
diatasi dengan cara tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata
rantai kemiskinan yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang
lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, yang dalam pepatah
disebut “jangan berikan umpannya tapi berikanlah kailnya”, sehingga
sangat relevan jika mengupayakan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan
nasional.
1.2 Perumusan Masalah
Kondisi tersebut di atas jika
berjalan terus, maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi
upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Karena pelaku UKM pada
dasarnya adalah lapisan masyarakat yang ditinjau dari besaran pendapatan lebih
berpotensi mendekati masyarakat miskin, namun mereka masih mempunyai kemauan
untuk melakukan usaha produktif. Jika UKM terus mendapat hambatan dalam berusaha
- termasuk kesulitan mengaskes sumber-sumber pembiayaan – maka potensi menjadi
masyarakat miskin akan menjadi kenyataan.
Berdasarkan kondisi tersebut,
sangat penting upaya untuk menjawab bagaimana memperluas akses-akses pembiayaan
bagi para pelaku UKM dan pada saat yang bersamaan peranan LKM terus berkembang
sekaligus mampu menjawab kebutuhan UKM walaupun porsinya masih terbatas.
Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tulisan ini adalah:
(1) Bagaimana menjadikan LKM semakin berkembang bahkan menjadi
salah satu pilar dari sistem keuangan nasional?
(2) Bagaimana meningkatkan peran LKM dalam mendukung pemberdayaan
UKM?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang diinginkan dalam tulisan ini meliputi:
1. Menganalisis peranan LKM sebagai sumber pembiayaan UKM,
2. Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan
sebagai dasar pengembangan di masa depan, yang memungkinkan menjadi salah satu
pilar sistem keuangan nasional.
1.4 Sumber Data dan Metodologi
Data yang digunakan dalam
tulisan ini bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik, Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, Pegadaian, Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) serta sumber lainnya yang terkait. Sementara alat
analisis yang dipakai adalah bersifat deskriptif. Studi kepustakaan, baik yang
berasal dari buku teks maupun jurnal/majalah merupakan sumber yang sangat
penting, begitu pula diskusi dengan teman seprofesi guna mempertajam
analisisnya.
Pemberdayaan
Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya
Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 89
II. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
2.1 Kaitan Lembaga Keuangan Mikro dengan Kemiskinan
Lembaga keuangan mempunyai
fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian. Jika fungsi ini
berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah.
Aktifitas ekonomi disini tidak membedakan antara usaha yang dilaksanakan tersebut
besar atau kecil, karena yang membedakan hanya besarnya nilai tambah
berdasarkan skala usaha. Hal ini berarti bahwa usaha kecilpun jika memanfaatkan
lembaga keuangan juga akan memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya
meningkatkan pendapatan masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara
yang produktif dengan memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk
usaha produktif yang dilakukan oleh masyarakat miskin.
Pengentasan kemiskinan dapat
dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung
maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari
pemerintah misalnya, program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga
berencana, maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam
bentuk micro credit.
Secara hipotesis, kaitan
antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan
pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika
pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi
pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya
pengusaha mikro (Krisna Wijaya: 2005).
Menurut Marguiret Robinson
(2000), pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu upaya
yang ampuh dalam menangani kemiskinan. Hal tersebut didasarkan bahwa pada
masyarakat miskin sebenarnya terdapat perbedaan klasifikasi diantara mereka,
yang mencakup: pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extreme
poor) yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan
produktif, kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki
kegiatan ekonomi (economically active working poor), dan ketiga,
masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang
memiliki penghasilan meskipun tidak banyak. Kategori ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Pendekatan yang dipakai dalam
rangka pengentasan kemiskinan tentu berbeda-beda untuk ketiga kelompok
masyarakat tersebut agar sasaran pengentasan kemiskinan tercapai. Bagi kelompok
pertama akan lebih tepat jika digunakan pendekatan langsung berupa program
pangan, subsidi atau penciptaan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi kelompok
kedua dan ketiga, lebih efektif jika digunakan pendekatan tidak langsung misalnya
penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan UKM, pengembangan berbagai
jenis pinjaman mikro atau mensinergikan UKM dengan para pelaku Usaha Menengah
maupun Besar.
Pemberdayaan
Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya
Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 90
Gambar 1
Financial Services in the Poverty Alleviation Toolbox
Sumber: Rudjito, Peran Lembaga Keuangan Mikro
Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkkan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi
Kemiskinan: Studi Kasus Bank Rakyat Indonesia, Jurnal Keuangan Rakyat Tahun
II, Nomor 1, Maret 2003
2.2 Lembaga Keuangan Mikro
Menurut definisi yang dipakai
dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro adalah program pemberian
kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia
kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli
terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to
very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to
care for themselves and their families” (Kompas, 15 Maret 2005). Sedangkan
Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan
kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang
mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro
umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank
(ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang
menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans),
pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money
transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance
to poor and low-income households and their microenterprises). Sedangkan
bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi,
(2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber
informal misalnya pelepas uang.4
4 www. ADB.co.id. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai
Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005 91
LKM di Indonesia menurut Bank
Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non
bank. LKM yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit
Desa). Sedangkan yang bersifat non bank adalah koperasi simpan pinjam (KSP),
unit simpan pinjam (USP), lembaga dana kredit pedesaan (LDKP), baitul mal
wattanwil (BMT), lembaga swadaya masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen,
pola pembiayaan ASA, kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun
BRI Unit Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan
peminjaman menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro kebanyakan
masih kesulitan mengaksesnya.
III.
Analisis Perkembangan LKM dan
UKM dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Menganalisis keberadaan LKM
tidak terlepas perkembangan UKM dan perkembangan LKM itu sendiri di Indonesia.
Keberadaan LKM muncul seiiring dengan pesatnya aktifitas UKM namun di sisi lain
dihadapkan pada kendala keterbatasan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari
lembaga-lembaga keuangan formal. Pembahasan disini akan diawali dengan
perkembangan UKM, kemudian dilanjutkan dengan darimana UKM memperoleh
sumber-sumber permodalan, perkembangan LKM dan diakhiri dengan uraian potensi dan
permasalahan LKM di masa mendatang.
3.1 Perkembangan UKM
Berdasarkan Data BPS tahun
2005, kondisi UKM periode 2001 sampai 2004 menunjukkan perkembangan positif.
Selama periode ini, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto rata-rata
mencapai 56,04 persen. Secara sektoral aktivitas UKM ini mendominasi sektor
pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran (Tabel 1). Sektor-sektor
ini merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Tabel 1
Kontribusi Usaha Kecil,
Menengah dan Besar Terhadap PDB
Tahun 2001 s.d. 2004 (dalam persentase)
No
|
Lapangan Usaha
|
Rata-Rata 2001 – 2004
|
|||||
Kecil
|
Menengah
|
Besar
|
Jumlah
|
||||
1
|
Pertanian
|
85.89
|
9.05
|
5.06
|
100
|
||
2
|
Pertambangan & Penggalian
|
7.42
|
3.09
|
89.49
|
100
|
||
3
|
Industri Pengolahan
|
14.95
|
12.8
|
72.25
|
100
|
||
4
|
Listrik, Gas & Air
|
0.54
|
7.34
|
92.12
|
100
|
||
5
|
Bangunan
|
43.57
|
22.61
|
33.82
|
100
|
||
6
|
Perdagangan, Hotel & Restoran
|
75.19
|
21.06
|
3.75
|
100
|
||
7
|
Pengangkutan & Komunikasi
|
35.35
|
26.4
|
38.25
|
100
|
http://makalahjurnalskripsi.com/wp-content/uploads/2009/12/contoh-jurnal-ekonomi-perbankan-dan-ekonomi-mikro.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar