Membedah perekonomian Indonesia di Tahun 2011 bersama Aviliani
REP | 17 January 2011 | 21:59 2060 0 Nihil
Pengamat ekonomi Aviliani memperkirakan roda
perekonomian Indonesia pada tahun 2011 akan berjalan baik. Bahkan
pertumbuhan ekonomi di tahun ini berpotensi mengalami tren kenaikan
sampai dengan empat tahun
mendatang. Menurut Avi, hal demikian bisa terjadi karena Indonesia
diuntungkan oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Dari sisi
eksternal, faktor utama yang berpengaruh adalah krisis ekonomi global
yang melanda Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Krisis ini telah
menyebabkan terjadinya defisit anggaran dalam jumlah besar. Recovery terhadap krisis yang berjalan lamban juga membawa keuntungan tersendiri bagi perekonomian nasional. Kemampuan bertahan dari hantaman krisis membuat Indonesia dipandang sebagai salah satu dari sedikit negara yang dapat memberikan keuntungan investasi besar.
Ditilik
dari faktor internal, posisi sebagai negara dengan pasar terbesar
keempat di dunia setelah China, Amerika, dan India membuka peluang yang
sangat lebar bagi pergerakan pasar domestik. Selain itu, Indonesia juga
diuntungkan dengan komposisi penduduk dimana 68% diantaranya adalah
penduduk dalam usia produktif. Jumlah populasi usia produktif yang besar
bisa mendorong pertumbuhan konsumsi yang signifikan. “Kalau dia
(golongan usia produktif) punya pendapatan per kapita, itu akan lebih
banyak dikonsumsi. Nah kita seharusnya diuntungkan dengan ini,” tutur
Avi. Faktor ketiga adalah besarnya sumber daya alam yang dimiliki.
Namun, Peneliti INDEF ini menggarisbawahi, “Resource kita belum optimal dalam pengelolaannya.”
Perhatian Pada Sektor Riil
Menurut
Avi, Pemerintah bisa semakin percaya diri menatap perekonomian jika
memberikan perhatian yang lebih besar pada sektor riil. Jika dilihat
secara sektoral, sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja tahun
lalu justru mengalami pertumbuhan yang rendah, misalnya manufaktur,
pertanian, dan pertambangan. Namun, sektor jasa dan padat modal malah
merasakan pertumbuhan mencapai di atas 10%. Menyangkut hal tersebut, Avi
menekankan perlunya policy pemerintah yang bisa mendukung
penyerapan tenaga kerja.“Peluang makronya bagus, tapi kalau pemerintah
enggak berbuat apa-apa ya sayang,” cetus Avi.
Ditambah dukungan faktor internal lain, antara lain tingkat
suku bunga yang masih relatif tinggi, Avi optimis pertumbuhan ekonomi
6,4% yang ditargetkan Pemerintah bisa tercapai. Bahkan jika Pemerintah
mau berusaha lebih keras dengan mengeluarkan terobosan-terobosan baru,
bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi 7% bisa terealisasi pada tahun
2012. Dua alternatif terobosan yang diutarakan pengamat ekonomi yang kerap tampil di televisi tersebut, antara lain dengan mengeluarkan obligasi untuk infrastruktur dan menerbitkan policy di bidang manufaktur.
Avi meyakini, dalam kondisi sekarang, mengeluarkan obligasi di bidang infrastruktur dapat menimbulkan multiplier effect yang luar biasa di masyarakat. Ia menegaskan,”Swasta akan berperan serta. Public partnership juga bisa dilakukan. Masyarakat kelas menengah ke bawah juga bisa investasi.” Lebih jauh, kebijakan ini dipandang sanggup memberikan tingkat penerimaan pengembalian kepada Pemerintah
yang lebih signifikan. Potensinya akan semakin besar lagi jika
daerah-daerah tertentu yang memiliki APBD bagus diperbolehkan untuk
mengeluarkan kebijakan serupa. Ini adalah adalah satu alternatif upaya yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengalihkan dana agar tidak hanya berputar di pasar modal. Menurut Avi, arus dana yang berpusat di pasar modal saja dapat
menyebabkan kapitalisasi tinggi, tetapi tidak mengalir ke sektor riil.
“Sehingga pertumbuhannya tidak merata. Nah, itu yang mulai harus
dikurangi,” kata pengamat yang sudah menulis banyak buku di bidang ekonomi itu.
Lebih lanjut, Pemerintah tak perlu terlalu khawatir jika ingin menerbitkan obligasi dalam negeri baru, asalkan hasilnya bisa memunculkan multiplier effect ekonomi bagi masyarakat. Avi mengatakan,”Karena dari multiplier itu kita bisa bayar utang kan? Karena pajak akan meningkat.” Lebih jauh lagi, paradigma terhadap utang, termasuk dalam bentuk obligasi,
harus diubah. Selama masa pemerintahan Orde Baru, kebanyakan utang
hanya digunakan untuk pengeluaran rutin, menutupi defisit anggaran, dan
proyek-proyek yang tidak menghasilkan penerimaan. Jika paradigma
tersebut tidak diganti, maka utang akan selalu sulit untuk dibayar. “Jadi utang itu harus selalu dikaitkan dengan revenue,”
lanjutnya. Avi juga berharap Pemerintah bisa belajar dari kasus
pembangunan Jembatan Suramadu. Menurut Avi, sejak awal Suramadu hanya
diproyeksikan untuk menjadi sebuah jembatan penghubung antara Pulau Jawa
dan Madura, tetapi tidak dipikirkan bagaimana prospek bisnisnya.
Terkait
dengan kebijakan di bidang manufaktur, Avi menilai saat ini Pemerintah
belum fokus pada pemberian insentif untuk produsen yang menghasilkan
produk-produk barang jadi. Avi berujar,” Insentif fiskalnya menurut saya
belum banyak. Kalaupun ada stimulus di masa lalu itu lebih banyak pada
meningkatkan konsumsi masyarakat, bukan pada produsen.” Perempuan kelahiran Malang, 14 Desember 1961 itu mencontohkan kebijakan terkait ekspor CPO (Crude Palm Oil).
Untuk menarik minat investor, Pemerintah perlu mempertimbangkan
kebijakan pemberian insentif bagi perusahaan yang mengolah CPO menjadi
barang jadi.“Sekarang ekspor terbesar kita CPO. Padahal itu barang intermediate, bukan barang jadi. Maka perlu di sini, pabrik-pabrik yang mengelola CPO menjadi barang jadi diberikan insentif,” ungkap Avi.
Alternatif
kebijakan lain yang terkait dan bisa dilakukan adalah dengan pemberian
insentif bagi para pengusaha garmen. Menurut Avi, industri garmen
Indonesia sebenarnya masih mempunyai daya saing. Namun, usia mesin para
pengusaha yang rata-rata hanya mampu bertahan selama 30 tahun seringkali
menjadi batu sandungan keberlangsungan usaha mereka. Dalam konteks ini,
opsi insentif yang bisa diambil Pemerintah contohnya
dengan membebaskan pembayaran pajak bagi pengusaha dengan skala
investasi tertentu. Misalnya kepada pengusaha yang bersedia melakukan
penggantian mesin usahanya sendiri dapat diberikan kebijakan tidak perlu membayar pajak selama tiga tahun.
Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri
Dalam kesempatan yang sama, Avi
juga menyampaikan pandangannya soal manajemen utang dalam dan luar
negeri. Pengamat ekonomi lulusan Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas
Atmajaya itu menilai Pemerintah mengambil sikap terlalu berhati-hati
dalam pengelolaan utang. Hal ini antara lain bisa diukur dari
pencanangan defisit anggaran yang hanya sebesar 1,2% dari APBN. Padahal dalam pandangan
Avi, target 3% defisit anggaran tidak akan menimbulkan masalah selama
bisa meningkatkan belanja, khususnya belanja pembangunan. Ia
membandingkan dengan pencanangan defisit anggaran sebesar 8% oleh
Pemerintah Amerika Serikat pada tahun yang sama dengan prioritas untuk
konsumsi masyarakatnya saja. Avi pun
kembali menekankan bahwa paradigma utang mesti diubah. Jika dulu utang
hanya dianggap menguntungkan pihak asing, maka penerbitan Surat Utang
Negara (SUN) saat ini dirasakan bisa lebih fleksibel dalam pemanfaatannya.
Mengenai
posisi utang dalam negeri yang mulai meningkat, Avi mencoba memberikan
solusi berupa peningkatan kemandirian dalam pendapatan pajak.
Menurutnya, intensifikasi pajak saat ini belum berjalan baik. Dengan
jumlah wajib pajak yang hanya berkisar 17 juta jiwa dari total angkatan
kerja formal sebesar 30 juta jiwa, Pemerintah tampak belum optimal menyangkut
kemandirian pajak. Avi menilai Pemerintah cenderung mengambil kebijakan
untuk menaikkan besaran pajak yang harus dibayarkan wajib pajak
daripada meningkatkan jumlah wajib pajak.” Intensifikasi terhadap wajib
pajak belum dikejar. Jangan mengejar orang yang sudah kena (pajak)
dinaikin lagi,” ungkap Avi.
Prospek Pasar Modal
Peraih gelar S2 FISIP UI jurusan Administrasi Niaga itu juga
memprediksi kondisi pasar modal Indonesia masih akan bagus seperti pada
tahun 2010. Bahkan IHSG diramalkan bisa menembus kisaran 4300. Menurut
Avi, tidak banyaknya pilihan para investor dalam dan luar negeri untuk menanamkan investasinya menjadi
pemicu gairah pasar modal Indonesia. Misalkan para investor ingin
menanamkan modal di China. Negara tersebut dikenal sangat ketat dalam
pasar modalnya. Jika ingin menanamkan modal ke Hongkong, kondisinya
belum sebaik Indonesia. “Kemana lagi?” cetus Avi. Lebih jauh, ia
menyatakan kondisi pasar modal Indonesia yang terbuka sangat disukai
para investor. “Jadi Indonesia ini sudah yang paling super terbuka.
Menurut saya, itu yang sangat disukai oleh para investor,” lanjut Avi. Walaupun begitu, ia menekankan bahwa Pemerintah tetap perlu memperhatikan ancaman inflasi yang bisa cukup besar berkisar 7-7,5% di tahun ini.
Prospek Nilai Tukar Rupiah
Sinyal positif juga datang dari nilai tukar rupiah. Menurut Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) tersebut, sejauh capital inflow masih besar,
kecenderungan penguatan rupiah juga akan meningkat. Pada tahun ini, Avi
memperkirakan rupiah mampu bertahan di level 8700-9300 per dollar
Amerika.“Masih akan menguat. Karena normalnya rupiah pada posisi 10.000-10.500 per dollar Amerika,” tutur Avi. Dalam kondisi demikian, sektor swasta seharusnya bisa menanamkan lebih banyak modal untuk investasi. Menurut Avi, perekonomian Indonesia pada periode ini sebenarnya adalah momentum yang tepat bagi para investor untuk berinvestasi
karena selama hampir 10 tahun banyak sekali perusahaan yang tidak
melakukan investasi. Untuk menarik minat investor, Pemerintah juga perlu
memberikan kepastian kepada para pengusaha.
Lanjut
Avi, kebijakan-kebijakan yang telah dibuat paling tidak seharusnya
tidak diubah sedemikian cepat. Avi menerangkan,”Sekarang ini kenapa
investor tidak mau banyak investasi? Karena ganti pemimpin ganti
kebijakan.” Avi mengambil contoh banyaknya kredit macet saat ini yang
salah satunya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang tiba-tiba
berubah. “Misalnya peruntukan tanah. Sudah ditanami sawit, tiba-tiba
peruntukannya untuk hutan yang dilindungi. Yang kedua, kita memang harus
punya (kebijakan) jangka menengah panjang supaya nanti kalau ganti
presiden, ganti kepala daerah, tidak berubah-ubah kebijakan,” sambung
Avi. Menjadikan pajak sebagai stimulus pergerakkan kegiatan
sektor-sektor riil, selain sebagai salah satu variabel penerimaan
negara, adalah cara lain untuk menarik minat investor.
Faktor-Faktor Yang Harus Diwaspadai
Avi
memperkirakan ada tiga faktor yang harus diwaspadai pada perekonomian
nasional di tahun 2011. Pertama adalah ancaman krisis likuiditas. Ketika
pasar modal mengalami stagnansi pada suatu titik tertentu, para pelaku
pasar cenderung akan melakukan aksi ambil untung yang menyebabkan arus
dana keluar menjadi besar. Sementara undang-undang jaring pengaman
sektor keuangan yang salah satu tujuannya untuk mengantisipasi
permasalahan ini belum disetujui DPR. Undang-Undang tersebut, antara
lain dapat menjadi landasan peraturan yang sah manakala terjadi situasi
dimana aliran dana keluar begitu besar. Misalnya karena clearing nasabah
di sebuah bank sehingga Pemerintah perlu menyiapkan dana talangan.
Contoh lain yang juga harus diantisipasi adalah jika terjadi kondisi
dimana Pemerintah tidak memiliki alokasi dana yang cukup sementara harus
melaukan buyback terkait Surat Utang Negara (SUN) yang telah dijual kepada masyarakat.
Untuk
menangani ancaman masalah likuiditas di atas, undang-undang jaring
pengaman sektor keuangan perlu segera disetujui DPR. Jika sudah
disetujui, perlu kerja sama yang baik antara Pemerintah dan Bank
Indonesia dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut. Di samping
itu, kontrol devisa juga mutlak dilakukan Pemerintah. Kurangnya kontrol
terhadap dana yang keluar dan masuk mengakibatkan kalangan dunia usaha
menjadi kurang tertarik karena tidak adanya range dalam
menentukan nilai tukar rupiah. “Ketika (banyak dana) keluar, rupiah
melemah. Ketika (banyak dana) masuk, rupiah menguat,” kata Avi.
Faktor
kedua yang harus diantisipasi adalah kurang optimalnya pertumbuhan di
sektor riil. Hal ini bisa terjadi apabila Pemerintah hanya memanfaatkan
momentum masuknya capital inflow yang deras hanya untuk sektor
pasar modal. Dari situ, pertumbuhan di sektor riil bisa kurang optimal
karena keuntungan hanya dinikmati kalangan tertu yang “bermain” di
lantai bursa. Avi kembali menegaskan bahwa jika Pemerintah
menginginkan pertumbuhan berkualitas juga mencakup sektor riil, maka
pilihan mengeluarkan obligasi terkait bidang infrastruktur mestinya
dijalankan.
Faktor
ketiga adalah inflasi. Menurut Avi, problema energi dan pangan
internasional sedikit banyak berpengaruh pada tingkat inflasi dalam
negeri. Negara-negara maju di Amerika dan Eropa saat ini cenderung
mengalami musim dingin yang lebih panjang sehingga membutuhkan pasokan
energi yang lebih besar. “Nah itu otomatis harga BBM akan naik,” kata
Avi. Dengan kondisi demikian, Pemerintah perlu menentukan antisipasi
kebijakan yang akan diambil, misalnya apakah subsidi BBM akan dikurangi
atau tidak. Sementara itu, terkait masalah pangan, Pemerintah juga
dianjurkan untuk melakukan langkah antisipasi. Sebagai negara maju,
China sudah menyiapkan stok pangan dalam negeri besar-besaran sejak 2-3
tahun yang lalu. Mereka bahkan tidak melakukan ekspor demi menjaga
ketahanan pangan dalam negeri. “ Kita enggak menyiapkan itu,” sambung
Avi.
Terkait
masalah pangan dan energi yang dapat mempengaruhi tingkat inflasi, Avi
mencatat dua masalah pokok, yaitu stok dan distribusi. Masalah kurangnya
infrastruktur, terutama di luar Jawa, memberikan kontribusi yang besar
terhadap distribusi pangan. Avi menyarankan perlunya keterlibatan
Pemerintah Daerah yang lebih jauh untuk menangani persoalan ini.”Supaya
mereka mencari alternatif dalam menyelesaikan masalah pangan maupun
energi,” pungkas Avi.
REFERENSI:
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/01/17/membedah-perekonomian-indonesia-di-tahun-2011-bersama-aviliani/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar